Belakangan ini, Mahkamah Konstitusi (MK) bikin gebrakan baru. Mereka minta pemerintah memodifikasi lampu lalu lintas biar lebih ramah buat penyandang buta warna. Sekilas mungkin terdengar sepele, tapi kalau dipikir-pikir, ini masalah serius yang selama ini jarang banget dibahas.
Alasan MK ngeluarin keputusan ini berangkat dari fakta bahwa banyak orang di Indonesia hidup dengan kondisi buta warna, sebagian bahkan baru tahu pas tes SIM. Selama ini, sistem lalu lintas kita masih bergantung penuh pada warna merah-kuning-hijau. Buat yang matanya nggak bisa membedakan warna tertentu, ini jelas bikin rawan salah tangkap dan bisa berujung kecelakaan.
MK menilai keselamatan di jalan adalah hak semua warga negara. Jadi, fasilitas publik kayak lampu lalu lintas juga harus inklusif. Kalau sistemnya nggak ramah, artinya ada diskriminasi terselubung yang bikin penyandang buta warna seolah “nggak layak” ada di jalan. Padahal masalahnya bukan di pengendara, tapi di infrastrukturnya.
Makanya, MK minta pemerintah buat cari solusi teknis. Bentuknya bisa macam-macam: menambah simbol panah, ikon khusus, bentuk geometris, atau bahkan sistem suara yang kasih tanda kapan waktunya jalan atau berhenti. Beberapa negara lain udah lebih dulu menerapkan sistem kayak gini, dan hasilnya terbukti bikin jalanan lebih aman buat semua.
Selain soal teknis, keputusan MK ini juga punya pesan penting: keselamatan berkendara bukan cuma urusan aturan ketat atau tes SIM, tapi juga soal bagaimana fasilitas publik bisa dipakai semua kalangan tanpa kecuali.
Kalau wacana ini beneran jalan, bisa jadi sebentar lagi kita bakal lihat wajah baru lampu lalu lintas di Indonesia. Nggak cuma modern, tapi juga lebih inklusif, adil, dan ramah buat semua orang. Jadi, bukan cuma “merah berhenti, hijau jalan”, tapi ada layer ekstra yang bikin semua orang—termasuk penyandang buta warna—bisa berkendara dengan lebih pede dan aman.











