Kalau kamu sempat scroll chart musik Indonesia belakangan ini, kemungkinan besar kamu nemuin satu nama yang lagi rajin nongkrong di posisi puncak: “Mangu” dari Fourtwnty feat. Charita Utami. Lagu yang sempat dianggap “sleeper hit” ini akhirnya meledak dan menduduki nomor satu di chart Indonesia pada 2025—dan itu bukan cuma sehari atau dua hari, melainkan bertahan di puncak selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
Menariknya, Mangu bukan single baru yang dirilis di 2025. Lagu ini sudah ada sebelumnya dalam katalog Fourtwnty, tetapi momentum viralnya benar-benar pecah di pertengahan tahun ini. Bahkan, Mangu berhasil masuk ke chart global Spotify, menduduki posisi Top 10 sampai Top 11 Global dengan jumlah streaming jutaan per hari. Fakta ini menandakan bahwa pendengar luar negeri juga mulai menyimak karya musisi Indonesia.
Keberhasilan Mangu menunjukkan betapa kuatnya resonansi musik folk-pop atau indie-folk di Indonesia ketika dieksekusi dengan tepat—lirik yang puitis, melodi hangat, dan produksi yang modern tanpa kehilangan nuansa akustik khas genre tersebut.
Salah satu alasan mengapa Mangu bisa meledak adalah kemampuannya berada di tengah antara indie dan mainstream. Lagu ini personal dan lembut seperti folk, tapi cukup catchy dan ramah streaming untuk viral di platform digital. Suara Charita Utami yang lembut berpadu dengan harmoni Fourtwnty menghadirkan nuansa melankolis yang menyentuh. Ditambah dengan aransemen gitar akustik, instrumen minimalis, dan sentuhan produksi halus, Mangu berhasil menyentuh hati pendengar luas tanpa kehilangan karakter.
Viralnya lagu ini juga tidak lepas dari kekuatan media sosial. Potongan liriknya jadi hook di TikTok dan Instagram Reels, membuat eksposurnya makin tinggi. Begitu muncul di chart global, pendengar internasional ikut memperbesar gaungnya, memberi efek balik yang memperkuat popularitasnya di tanah air.
Fenomena ini menegaskan bahwa tren folk-pop masih punya tempat istimewa di telinga pendengar Indonesia. Genre yang sering disebut musik senja ini memang punya daya tarik unik: liriknya puitis, temanya reflektif, dan produksinya sederhana tapi penuh perasaan. Pendengar yang mencari kejujuran dalam musik akan selalu menemukan rumah di lagu-lagu folk-pop.
Keberhasilan Mangu juga jadi sinyal bahwa lagu dengan nuansa tenang bisa bersaing di era digital yang serba cepat. Musik yang mengandalkan cerita personal, harmoni sederhana, dan emosi yang tulus justru bisa bertahan lama di hati pendengar.
Ke depan, tren ini kemungkinan akan memunculkan lebih banyak kolaborasi antara musisi mainstream dan indie, memperkaya lanskap musik Indonesia. Playlist “senja”, “chill vibes”, atau “acoustic” akan tetap jadi jalur utama bagi genre ini untuk terus hidup.
Mangu akhirnya bukan sekadar lagu, melainkan bukti bahwa musik yang datang dari hati bisa menembus batas, menjadi hits, dan merajai chart, bahkan di tengah arus deras industri musik digital.