Search
Close this search box.

Gowok: Kamasutra Jawa — Tradisi, Seksualitas, dan Film yang Bikin Heboh

"Gowok: Kamasutra Jawa adalah film yang tidak hanya bikin penonton penasaran, tapi juga menantang cara kita memandang tradisi, seksualitas, dan peran perempuan dalam budaya. "

Nama Gowok: Kamasutra Jawa mungkin langsung bikin dahi berkerut atau penasaran. Film ini bukan sekadar drama budaya biasa, tapi sebuah eksplorasi berani tentang tradisi Jawa yang sudah lama hilang. Disutradarai Hanung Bramantyo, Gowok mengangkat praktik kuno di Jawa yang dikenal sebagai “gowok” — perempuan yang diberi tugas untuk mengajarkan calon mempelai pria soal kehidupan rumah tangga, termasuk urusan ranjang, sebelum menikah.

Dengan latar tahun 1950-an hingga 1960-an, film ini membawa penonton kembali ke masa di mana tradisi masih sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Jawa. Ceritanya berpusat pada Ratri, seorang perempuan muda yang dilatih oleh Nyai Santi untuk menjadi gowok. Ketika ia akhirnya bertemu Kamajaya, seorang bangsawan yang juga muridnya, cinta pun tumbuh di antara mereka. Konflik muncul karena Ratri terjebak antara tradisi, cinta pribadi, dan tanggung jawab besar yang diwariskan kepadanya.

Hanung Bramantyo menghadirkan Gowok dengan sentuhan yang jauh dari kesan vulgar. Justru, ia menggunakan film ini untuk membuka ruang diskusi tentang seksualitas, kesetaraan gender, dan hak perempuan. Dalam beberapa kesempatan, Hanung menegaskan bahwa salah satu pesan penting film ini adalah “orgasme adalah hak perempuan”. Di tengah budaya patriarki, isu seperti ini sering dianggap tabu, dan Gowok mencoba menantangnya lewat narasi budaya yang kuat.

Secara visual, film ini tampil memikat. Kostum klasik, tata ruang Jawa tempo dulu, musik tradisional, hingga bahasa daerah dihidupkan kembali untuk menciptakan nuansa otentik. Dengan durasi lebih dari dua jam, Gowok bukan hanya drama budaya, tapi juga pengalaman sinematik yang imersif. Penggambaran Jawa di era 60-an begitu detail, bikin penonton seolah dibawa masuk ke masa lalu yang penuh romantisme sekaligus ketegangan.

Kontroversinya jelas terasa, tapi justru itu yang membuat film ini menonjol. Ada yang memuji keberanian Gowok mengangkat tradisi yang jarang dibicarakan, apalagi dalam konteks modern di mana seksualitas masih sering dianggap hal yang memalukan. Ada juga yang skeptis, khawatir tema ini hanya jadi sensasi semata. Namun, terlepas dari pro dan kontra, film ini berhasil membuka percakapan yang jarang disentuh dalam perfilman Indonesia.

Bukan cuma di dalam negeri, Gowok juga mendapat perhatian dunia. Film ini sempat tayang perdana di International Film Festival Rotterdam (IFFR) 2025, menandakan bahwa cerita lokal dengan isu global bisa diterima oleh audiens internasional. Ini membuktikan bahwa tradisi dan budaya kita punya daya tarik ketika dikemas dengan cerita yang kuat dan sinematografi yang modern.

Pada akhirnya, Gowok: Kamasutra Jawa adalah film yang tidak hanya bikin penonton penasaran, tapi juga menantang cara kita memandang tradisi, seksualitas, dan peran perempuan dalam budaya. Ia bukan sekadar hiburan, tapi juga refleksi. Lewat kisah ini, Hanung mengingatkan kita bahwa sejarah dan tradisi punya sisi lain yang bisa jadi cermin untuk memahami isu-isu kekinian.