Jakarta kembali jadi pusat perhatian di akhir Agustus 2025. Dua kali dalam satu minggu, jalanan ibu kota dipenuhi suara protes dari massa yang berbeda. Mulai dari mahasiswa hingga ojol, lalu disusul buruh dan serikat pekerja, semua turun ke jalan untuk menyuarakan keresahan.
Pada 25 Agustus 2025, ribuan mahasiswa, pelajar, dan pengemudi ojek online berkumpul di sekitar gedung DPR/MPR. Isu yang mereka bawa cukup sensitif: tunjangan dan gaji anggota DPR yang dinilai terlalu tinggi di tengah kondisi ekonomi rakyat yang makin berat. Aksi yang awalnya damai pelan-pelan berubah jadi panas. Ada botol dan petasan dilempar ke arah aparat, bahkan beberapa kendaraan dibakar. Imbasnya, lalu lintas kacau, tol dalam kota sempat lumpuh, hingga KRL dan TransJakarta ikut terganggu. Polisi mencatat ratusan orang diamankan dalam aksi yang berakhir ricuh itu.
Belum reda, tiga hari kemudian tepatnya 28 Agustus 2025, giliran buruh dan serikat pekerja yang ambil alih panggung jalanan Jakarta. Massa yang datang dari berbagai daerah Jabodetabek memadati kawasan DPR dan Istana. Tuntutan mereka jelas: penghapusan sistem outsourcing, kenaikan upah minimum, pajak pesangon dan THR yang dianggap memberatkan, serta perlindungan kerja yang lebih adil. Aksi yang awalnya damai juga sempat memanas. Blokade jalan tol dan pelemparan botol memicu aparat bertindak, termasuk menggunakan gas air mata untuk membubarkan kerumunan.
Dua aksi besar ini jadi refleksi nyata keresahan masyarakat. Mahasiswa, ojol, hingga buruh turun dengan isu berbeda, tapi benang merahnya sama: ketidakpuasan terhadap kondisi ekonomi dan kebijakan politik yang dianggap nggak berpihak ke rakyat kecil. Menariknya, banyak wajah muda ikut hadir, menunjukkan kalau generasi sekarang mulai berani bersuara. Bahkan, kreativitas anak muda juga terlihat dari simbol-simbol yang dibawa, mulai dari spanduk satir hingga bendera “Jolly Roger” ala One Piece yang viral di medsos.
Apa yang terjadi di Jakarta 25 dan 28 Agustus bukan cuma soal bentrokan massa dengan aparat, tapi juga alarm keras bahwa suara rakyat nggak bisa terus diabaikan. Demonstrasi ini nunjukin bahwa publik, terutama generasi muda dan kelas pekerja, ingin didengar, ingin perubahan, dan ingin pemerintah lebih peka sama kondisi mereka.
Jakarta jadi saksi bagaimana dua gelombang protes dalam satu minggu bisa bikin pusat kota lumpuh, tapi sekaligus memperlihatkan kalau demokrasi di Indonesia masih hidup. Kini, pertanyaannya tinggal satu: apakah suara itu akan benar-benar didengar dan dijadikan bahan introspeksi, atau cuma lewat begitu saja sebagai catatan demo rutin di kalender ibu kota?