Gelombang K-Pop udah kayak tsunami budaya pop yang nggak bisa ditahan. Dari BTS, Blackpink, aespa, sampai NewJeans, nama-nama itu lebih gampang ditemuin di playlist anak muda Indonesia dibanding musisi lokal sendiri. Mereka nggak cuma jual musik, tapi juga gaya hidup, fashion, fandom, sampai konten viral. Jadi wajar kalau K-Pop udah menguasai pasar global.
Tapi apakah itu berarti musik Indonesia bakal terus di bayang-bayang? Enggak juga. Beberapa tahun terakhir, makin banyak musisi lokal yang berani ngincer pasar internasional. Ada yang lewat kolaborasi lintas negara, ada yang join label luar, ada juga yang mengandalkan digital virality buat bikin musik mereka nyebrang keluar negeri. Intinya, musisi kita lagi coba bikin jejak global, walau jalannya nggak semulus jalan tol Korea Selatan.
Strategi paling populer sekarang adalah kolaborasi. Nggak jarang musisi Indonesia nge-feat sama produser atau artis luar negeri supaya lagunya bisa punya akses ke audiens global. NIKI misalnya, udah jadi bukti nyata bahwa penyanyi Indonesia bisa berdiri sejajar di panggung musik dunia. Dari label 88rising, dia berhasil bawa vibes R&B/Pop ala barat dengan tetap kasih sentuhan khas Asia. Ada juga Voice of Baceprot yang sukses bikin dunia melirik dengan musik metal mereka, bahkan sempat manggung di festival internasional. Belum lagi Joey Alexander yang udah tampil di panggung jazz kelas dunia sejak belia.
Tapi masalahnya, bersaing dengan K-Pop nggak cuma soal punya lagu bagus. Korea punya sistem yang rapi banget: trainee bertahun-tahun, investasi label gila-gilaan, marketing terintegrasi dari musik, drama, variety show, sampai TikTok challenge. Sementara di Indonesia, ekosistemnya masih acak-adut. Banyak artis lokal yang punya bakat gede, tapi terbentur modal, promosi, dan kurangnya akses ke jaringan global. Bahasa juga jadi hambatan—lagu dalam bahasa Indonesia sulit masuk ke pasar global, jadi nggak jarang artis lokal bikin versi bilingual biar gampang diterima.
Meski begitu, peluang tetap terbuka. Dengan makin kuatnya platform streaming kayak Spotify, Apple Music, dan YouTube, artis lokal bisa langsung nembus pasar dunia tanpa harus lewat pintu label besar. Kuncinya ada di konsistensi dan branding. Kalau K-Pop bisa ngejual “budaya Korea” sebagai paket lengkap, musik Indonesia seharusnya bisa ngejual identitas kita sendiri—dari bahasa, instrumen tradisional, sampai storytelling yang dekat dengan kultur lokal. Bayangin aja kalau gamelan dikawinkan dengan beat R&B atau dangdut koplo dibungkus pop internasional, pasti bakal jadi sesuatu yang fresh buat dunia.
Sekarang pertanyaannya: siapa next big thing dari Indonesia? NIKI udah jadi role model, VOB lagi terus ngaspal di jalur internasional, dan masih banyak musisi muda lain yang siap bersinar. Persaingan dengan K-Pop memang berat, tapi bukan berarti kita kalah sebelum bertanding. Dunia musik global lagi butuh sesuatu yang baru, dan Indonesia bisa jadi jawabannya kalau kita bisa tampil dengan percaya diri membawa identitas sendiri.
Pada akhirnya, persaingan K-Pop dan musik lokal ini bukan sekadar siapa yang lebih populer. Ini soal siapa yang bisa menjaga konsistensi, punya strategi ekspansi yang cerdas, dan tetap bangga sama akar budayanya. Kalau K-Pop bisa bikin dunia jatuh cinta sama Korea, kenapa musik Indonesia nggak bisa bikin dunia jatuh cinta sama kita?
Jadi gimana menurutmu, musisi Indonesia mana yang paling siap meledak di level global?