Pihak Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempersilahkan kepada para sinea untuk mengeksplorasi film horor yang mengandung konten setan dan para ustaz, selama memiliki konten edukasi dan sesuai “sifat etan”.
“Saran saya untuk para produsen pembuat film-film horor itu ya silahkan tapi memang sesuai apa-apa sifat-sifat dari setan. Sifat-sifat dari setan itu, apa yang mengganggu silahkan dieksplorasi begitu. Mengganggunya bagaimana, yang membuat orang katakanlah betul-betul ini kayanya etan benerannya.” ucap K.H. Sodikun.
Sodikun menyadari genre horor tidak bisa dilepas dari karakter dan budaya masyarakat Indonesia yang kemudian didukung dengan pengetahuan dan kepercayaan dari agama yang ada di Indonesia. Hal itu pula yang membuat para ustaz juga menjadi tumpuan harapan banyak masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim dalam menghadapi gangguan setan, yang kemudian dipotret para sineas ke layar lebar.

“Jadi menurut saya, MUI menilainya, film-film horor itu walaupun sifatnya sangat mistik, tapi ini merupakan gambaran yang memang ada dan sudah membudaya dan memang enggak ada masalah tuh kelihatannya. Jadi seharusnya para penonton dalam menyikapi film-film seperti itu menganggapnya (setan) ini merupakan makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT, dan dia selalu mempunyai sifat dan sikap mengganggu manusia.” kata Sodikun.
Meski semula untuk mengatur film berkaitan mengenai konten seksualitas, Kode Etik Produksi Film Nasional itu juga meminta alur cerita film selalu mengarah kepada ketakwaan dan pengagungan terhadap tuhan.
“Dialog, adegan, visualisasi, dan konflik-konflik antara protagonis dan antagonis dalam alur cerita seharusnya menuju arah ketakwaan dan pengagungan terhadap Tuhan YME.” bunyi salah satu ayat Kode Etik Produksi Film Nasional yang dirilis pada 1981.
Sodikun pun senada dengan Kode Etik tersebut. Menurutnya, memang sudah jadi peran ustaz dalam film horor untuk menghimbau penonton agar bersandar pada ajaran agama bila menghadapi teror makhluk gaib. Walaupun, pada era semenjak 2017, berbagai penggambaran ustaz dalam film horor tidak lagi berpatok pada Kode Etik Produksi Film Nasional peninggalan Orde Baru tersebut. Ada yang ikut jadi korban setan, bahkan melakukan hal tidak terpuji. “Sudah barang tentu Majelis Ulama atau ulama-ulama kiai-kiai memasankan atau memproduksi film-film horor itu mempunyai nilai edukasi. Kemudian cara mengantisipasi atau cara memagari dari godaan-godaan etan. Tapi jangan berlebihan, misal dengan Al-Quran, dengan bacaan saja, zikir-zikir seperti itu.” tuturnya.