Search
Close this search box.

Nicholas Ghesquiere Hadirkan Mode dan Wujud dari “Soft Power”

"Karya ini menggambarkan adegan bersejarah dengan unsur-unsur supernatural diaplikasikan ke dalam kemeja warna-warni dan rok yang memukau. "

Brand Louis Vuitton menutup gelaran Paris Fashion Week dengan sebuah pesan kuat pada Selasa (1/10/24) lalu. Rumah mode mewah itu bicara bagaimana mode dapat mempengaruhi masyarakat melampaui batas soft power.

Nicolas Ghesquière menciptakan koleksi musim panas 2025 untuk Louis Vuitton dengan menyeimbangkan referensi historis dengan inovasi busana modern. Ia menghadirkan suguhan visual yang mengeksplorasi kontradiksi ‘soft power‘ itu.

Berlokasi di Cour Carrée, halaman Museum Louvre, statement yang jelas dimulai dari tampilan runway yang dibangun dari sekitar seribu trunk Louis Vuitton. Hal ini menggaris bawahi sisi heritage Louis Vuitton sekaligus menetapkan corak untuk koleksi yang berakar pada tradisi dan eksperimen.

Ketertarikan Ghesquiere pada fluiditas dan struktur memainkan peran penting dalam koleksi ini. Dikenal karena desainnya yang bernuansa arsitektur, ia menantang studionya untuk menampilkan kelembutan tanpa kehilangan kekuatan dan ketajaman. 

Hasilnya adalah sebuah koleksi yang paling ringan dan paling ‘terjamah’ hingga saat ini, namun tetap dipenuhi dengan ciri khas eksperimentalnya. Jaket, yang secara tradisional terstruktur dan kokoh, direkonstruksi menjadi pakaian yang lembut layaknya blus. Sementara mantel memiliki bentuk jubah yang lapang berkibar. Rok juga dibuat dalam bentuk seperti syal, yang memberi kesan ringan.

Kain yang ia gunakan adalah kunci untuk mencapai keseimbangan struktur dan kesejukan ini. Bahan yang sangat ringan memberi kesan nyaman, hampir melayang di atas model saat mereka berjalan. Siluetnya juga santai, tetapi tidak asal-asalan. Potongan lengan yang mengembang dan peplum yang lebar menambah volume tanpa mengalahkan kelembutan keseluruhan tampilan.

Jaket yang menyerupai blus ini ditata dengan gaya kaos santai dan dipasangkan dengan celana pendek biker. Setelan ini juga dipadukan dengan sandal datar bertali yang desainnya terinspirasi oleh gagang koper, sebuah bentuk penghormatan pada asal-usul Louis Vuitton. “Soft power yang dimiliki busana juga bisa merupakan sebuah proses hilir mudik antara dua hal yang mencolok dan bertolak belakang, namun tetap harmonis,” jelasnya.

Selain potongan-potongan yang lembut dan halus, Ghesquiere juga memadukan koleksinya dengan sentuhan futuristik. Hiasan keperakan dan celana panjang sebelah tampil menonjol sebagai pengingat akan kecenderungannya terhadap figur fiksi ilmiah.

Koleksi ini ditutup dalam sebuah kolaborasi dengan seniman Prancis Laurent Grasso. Karya-karyanya yang menggambarkan adegan bersejarah dengan unsur-unsur supernatural diaplikasikan ke dalam kemeja warna-warni dan rok yang memukau. Aksesori, elemen yang selalu menjadi sorotan di Louis Vuitton, ditampilkan melalui tas Greenwich.

Soundtrack, yang menampilkan materi baru dari Jamie xx, menambah suasana pertunjukan yang halus dan energi serta memperkuat kesan gerakan dan dinamisme koleksi ini. Kehadiran Ibu Negara Prancis Brigitte Macron dalam show ini menggarisbawahi hubungan yang mendalam antara mode dan soft power yang dimilikinya.

Mode, sebagai kekuatan budaya, mewujudkan pengaruh suatu negara di luar politik atau ekonomi, membentuk persepsi dan membina hubungan internasional melalui kreativitas, seni, dan keterampilan. Sejatinya, sebuah diplomasi mode yang menegaskan pengaruh secara halus namun kuat di panggung global.

Koleksi Ghesquière ini secara keseluruhan menunjukkan banyak kontras seperti kelembutan dan kekuatan serta struktur kokoh dan fluiditas. Namun, kesemuanya bersatu dalam cara yang harmonis dan menawan. Karya Ghesquiere setidaknya menjadi bukti mode Prancis sebagai salah satu bentuk soft power yang memamerkan kemampuan Louis Vuitton untuk berkembang sambil tetap setia pada nilai-nilai tradisionalnya.