Ketika “Jennifer’s Body” pertama kali rilis pada 2009, banyak yang menganggapnya cuma film horor remaja dengan bumbu sensualitas. Tapi di balik citra itu, film ini justru memperlihatkan sisi lain Megan Fox yang sedang hilang arah, terluka, dan penuh amarah.
Di masa itu, Megan baru saja melejit lewat Transformers, tapi hidupnya di balik layar jauh dari gemerlap. Ia merasa dikekang oleh label “seks simbol” yang ditempelkan Hollywood padanya. Lewat karakter Jennifer—gadis populer yang dirasuki iblis dan menyalurkan amarahnya lewat kekerasan—Megan seperti menumpahkan semua frustrasi dan kemarahan yang selama ini ia pendam.
Dalam wawancara bertahun-tahun kemudian, Megan mengakui bahwa “Jennifer’s Body” adalah peran yang paling dekat dengan dirinya. “Aku sedang marah pada dunia, dan karakter Jennifer memberiku ruang untuk melampiaskannya,” ujarnya.
Film garapan Karyn Kusama dan Diablo Cody itu kini diakui sebagai karya feminis kultus, yang jauh lebih dalam dari sekadar film horor remaja. Ia menggambarkan bagaimana perempuan sering dipuja, lalu dihancurkan oleh pandangan dunia yang salah.
Setelah lebih dari satu dekade, “Jennifer’s Body” akhirnya mendapat tempat yang pantas. Dan di dalamnya, Megan Fox bukan sekadar ikon kecantikan—tapi wajah kemarahan perempuan yang akhirnya berani melawan.











