Spotify kembali mencuri perhatian dunia musik. Platform streaming terbesar di dunia itu resmi menggandeng tiga label raksasa—Sony Music, Universal Music Group, dan Warner Music Group—untuk mengembangkan produk Artificial Intelligence (AI) yang disebut “bertanggung jawab dan menghormati hak cipta artis” (dilansir dari The Guardian).Langkah ini muncul di tengah panasnya perdebatan antara dunia teknologi dan industri kreatif, di mana banyak perusahaan AI dituduh menggunakan data musik tanpa izin, menciptakan lagu-lagu yang terdengar mirip karya artis terkenal, bahkan meniru suara mereka. Spotify pun menegaskan bahwa mereka tidak ingin menjadi bagian dari masalah itu.
“Kami ingin membangun AI yang menghormati hak cipta, memberi kredit yang adil, dan tetap menjaga nilai kreatif para artis,” ujar perwakilan Spotify dalam pernyataannya (dilansir dari The Guardian).
Dunia musik memang sedang berada di titik persimpangan. Di satu sisi, teknologi AI membuka peluang baru untuk kolaborasi dan kreativitas. Namun di sisi lain, kemunculan lagu-lagu “deepfake” membuat banyak musisi resah. Salah satu kasus paling viral adalah lagu Heart on My Sleeve, yang menggunakan suara tiruan Drake dan The Weeknd tanpa izin hingga akhirnya ditarik dari platform karena pelanggaran hak cipta. Label-label besar seperti Universal dan Warner bahkan sempat melayangkan gugatan ke beberapa startup AI seperti Suno dan Udio, yang dianggap mengkloning lagu artis mereka tanpa lisensi resmi. Di tengah kekacauan itu, Spotify mencoba mengambil posisi netral: menjadi jembatan antara inovasi teknologi dan perlindungan hak cipta.
Dalam kolaborasi barunya, Spotify berjanji untuk menciptakan AI yang “berhati nurani.” Mereka memastikan seluruh proses berbasis persetujuan, artinya artis bisa memilih apakah suara atau lagu mereka boleh digunakan dalam proyek AI atau tidak (dilansir dari The Guardian). Setiap materi kreatif juga akan melalui proses lisensi resmi dan transparan. Selain menggandeng label-label besar, Spotify juga melibatkan pemain independen seperti Merlin dan Believe agar musisi indie mendapat kesempatan yang sama untuk berpartisipasi. Lucian Grainge, CEO Universal Music Group, menegaskan bahwa setiap artis di bawah naungannya akan dimintai izin terlebih dahulu sebelum suaranya digunakan. Dengan cara ini, tidak akan ada lagi “suara hantu” atau lagu palsu yang muncul tanpa sepengetahuan pemilik aslinya.
Spotify bukan pemain baru dalam inovasi. Mereka dikabarkan telah membangun AI Research Lab yang berfokus pada pengembangan fitur musik berbasis kecerdasan buatan (dilansir dari The Guardian). Mulai dari sistem rekomendasi lagu yang lebih personal hingga teknologi penciptaan musik kolaboratif antara manusia dan mesin. Dengan lebih dari 276 juta pelanggan premium di seluruh dunia, Spotify jelas punya posisi kuat untuk menetapkan standar baru di industri musik digital. Langkah ini bisa jadi game changer yang menentukan bagaimana musik akan diproduksi, disebarkan, dan dinikmati dalam beberapa tahun ke depan.
Jika proyek ini berjalan sesuai rencana, Spotify bisa menjadi contoh ideal bagaimana teknologi dan seni bisa berjalan berdampingan. Tidak ada lagi musisi yang kehilangan kendali atas karyanya, dan tidak ada lagi algoritma yang mengambil tanpa izin. Dunia musik mungkin akhirnya menemukan keseimbangan baru antara manusia dan mesin. Spotify tampaknya ingin membuktikan bahwa masa depan musik bukan hanya soal AI yang canggih, tapi juga tentang etika, kolaborasi, dan rasa hormat terhadap kreativitas manusia. AI mungkin bisa meniru suara, tapi perasaan dan makna di balik setiap lagu tetap akan selalu milik manusia.











